Hipmala ku sayang….

April 30, 2008

Unjuk Rasa Hari Buruh

Filed under: Nasionalisme — hipmala @ 3:50 pm
Tags:

Reporter : Yusuf Riaman

Unjuk rasa untuk menyongsong hari buruh sedunia yang jatuh 1 Mei di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (30/4), berlangsung di lebih dari 10 titik.

Unjuk rasa antara lain juga diikuti Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Komite Pimpinan Cabang Mataram yang menggelar aksi di perempatan gedung Bank Indonesia (BI) Mataram dan di DPRD NTB.

Sementara itu kelompok lainnya berunjuk rasa dengan berkeliling mengendarai sepeda motor serta mendatangi sejumlah titik. Mereka adalah kelompok Federasi Serikat Nelayan Tani Buruh Indonesia yang beranggotakan Aliansi Masyarakat Pesisir Nusantara (AMAPI Nusantara), Serikat Buruh Jasa Transportasi dan Angkutan (SB-Jatra), Asosiasi Karyawan Adil Sejahterah (Asokadira), Perhimpunan Tani Indonesia (Petani), dan Asosiasi Buruh Umum dan Informal (Asbumi).

Sejumlah titik yang didatangi kelompok tersebut antara lain kantor Dinas Perkebunan NTB, Polres Mataram, Pengadilan Negeri Mataram, Polda NTB, Kejati NTB, Dinas Perhubungan, Dinas Perikanan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pertanian dan kantor Gubernur NTB.

Para pengunjuk rasa mulai turun ke jalan sekitar pukul 9.00 Wita dan berakhir sekitar pukul 12.00 Wita. Mereka antara lain menuntut pemerintah untuk mencabut Undang-Undang No 13/2003 yang dianggap membuka peluang pasar tenaga kerja fleksibel dan murah, revisi Jamsostek pro buruih, menolak kawasan ekslusif

Indonesia, penuruunan harga bahan pokok, dan menuntut pembayaran upay layak. “Yang terjadi selama ini buruh dieksploitasi dengan upah yang rendah,” kata Irwan Kordinator aksi dari SMI

Source: Media Indonesia

Tentang Kebhinekaan Indonesia

Filed under: Nasionalisme — hipmala @ 2:15 pm
Tags:

Islam dan pluralisme (kebhinekaan) senantiasa menarik diperbincangkan, terutama sejak Barat menilai bahwa pasca runtuhnya komunisme, maka Islam merupakan saingan, jika bukan ancaman baru, di arena peradaban dunia.

Sejatinya, berbagai kasus kekerasan oleh kelompok Muslim terhadap kaum minoritas dan kalangan Ahmadiyah seperti saat ini, untuk sebagian membuktikan telah memudarnya wacana dan praksis pluralisme maupun universalisme Islam di Indonesia.

Namun, dalam konteks lokal maupun global, para cendekiawan Muslim menyebutkan justru di masa lalu peradaban Islam telah memantulkan pluralisme yang ditekankan dalam pesan dan hukum Islam. Masyarakat dalam setiap negeri Muslim terdiri dari kaum Muslim dan non-Muslim yang termasuk ke dalam berbagai jenis kelompok kesukuan. Kaum Muslim memiliki perbedaan teologi dan fikih, sedangkan non-Muslim termasuk ke dalam agama dan sekte yang berbeda-beda.

Kekhalifahan Islam pun mewakili sebuah negara universal, kota-kotanya bervariasi dalam pola-pola sejak dari pola Yunani-Romawi di Mediterania, Arab di Makkah dan San’a, Babilonia di Irak dan Persia, hingga pola yang mewakili wilayah Muslim bagian timur.

Tatanan sosial dunia Islam menampung kaum Muslim dan non-Muslim. Kedua kelompok hidup di bawah kondisi dasar sama, dan hasrat yang kuat untuk menegaskan status dan kekuatan mempengaruhi Yahudi dan Kristen begitu pula kaum Muslim. Akan tampak bahwa di daerah luar ibu kota, kelompok-kelompok keagamaan hidup terpisah secara baik, kecuali untuk kerjasama mereka dalam urusan resmi. Adat istiadat, bahkan hukum pribadi dan komunitas keagamaan, berbeda sampai pada tingkat yang luas sekali, tetapi nilai sosial dipegang bersama.

Kaum Majusi pun mendapat status dzimmi, sama dengan Kristen dan Yahudi, dan kemudian Hindu. Kaum Sabiin dilindungi dan diperlakukan setara. Setiap tiga komunitas yang disebut awal memiliki pemimpin masing-masing yang disebut ‘raja’ di kalangan komunitas Yahudi dan Majusi dan posisinya diwariskan turun-temurun. Pendeta Kristen, hanyalah seperti pendeta Jacobit suatu ketika ucapkan ‘pemimpin spiritual’. Pemimpin-pemimpin ini mewakili komunitasnya masing-masing di hadapan pihak yang berwenang. Para pemimpin Katolik Nestor dipilih oleh gereja, tetapi pemilihannya dipertegas oleh Khalifah Abbasiah yang mengeluarkan pentahbisan untuk posisinya, sama seperti pendeta Jacobit. Pemimpin Yahudi di Baghdad mempunyai sedikit asa-usul Aram, ‘Resh Galutha, pangeran tawanan’. Tatkala dia pergi ke istana Khalifah, dia berjalan dalam suatu prosesi, diawali dengan seruan seorang bentara: ‘beri jalan dulu tuan kita putra Nabi Daud.’ Di bawah dinasti Fatimiah, pemimpin Yahudi di Kairo disebut ‘pangeran dari para pangeran’.

Studi para Islamolog mengungkapkan bahwa kaum non-Muslim di wilayah Muslim menjalankan profesi dan kegiatan ekonomi dengan bebas. Mereka ada yang menjadi penukar uang, pengusaha dan tabib. Sebagian besar penukar uang dan para penghubung (dealer) di Suriah adalah Yahudi, sementara kebanyakan tabib dan juri tulis orang Kristen. Pemimpin Kristen di Baghdad adalah tabib khalifah, dan banyak Yahudi yang mendapatkan posisi di istana Khalifah. Khalifah Fatimiah al-Aziz mempunyai seorang menteri Kristen dan menunjuk seorang Yahudi sebagai Gubernur Suriah. Posisi penting di bidang keuangan, kesekretariatan, profesional di kota dipegang orang Kristen dan Yahudi itu tak jarang menimbulkan kecemburuan pihak Muslim.

Kaum non-Muslim menikmati kebebasan menjalankan agama, dan beberapa khalifah mungkin saja menghadiri upacara dan perayaan mereka; seperti yang dilakukan warga Muslim. Rumah sakit umum menerapkan pelayanan sama bagi semua pasien. Non-Muslim tidak harus tinggal di wilayah khusus, kendati setiap komunitas condong secara sukarela melakukan hal itu. Mereka memiliki pengadilan agama yang diorganisasi para pemimpin mereka, walaupun mereka dapat selalu pergi ke hakim Muslim jika mau.

Kemajemukan sosial ini dalam wilayah Muslim tidak berarti ketegangan dan gangguan antara Muslim dan non-Muslim tidak pecah dari waktu ke waktu. Kaum Muslim yang kemudian cemburu terhadap kekayaan atau pengaruh non-Muslim dapat memicu masalah.

Para pemimpin perseorangan boleh jadi membahayakan komunitas atau beberapa anggota terkemuka. Hal ini sering terjadi setelah periode kesejahteraan yang mencolok dan dominasi politik, tetapi kaum Muslim itu sendiri sama-sama terbuka untuk kekuasaan monarki yang sewenang-wenang.

Meskipun adanya ketegangan sosial sewaktu-waktu atau tekanan resmi non-Muslim, sebagaimana yang dinyatakan Grunebaum ‘dalam kehidupan sehari-hari kondisi-kondisi serba tak menentu (leissez faire)’. ”Selama Abad Pertengahan di wilayah Timur terdapat sedikit perseteruan fisik yang tidak dapat didamaikan ketimbang di wilayah Barat.

Islam mengajarkan toleransi, pluralisme dan perdamaian serta kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Bangsa Indonesia semestinya mengamalkan kesalehan itu sebagai nilai peradaban, dan menjauhi perilaku kekerasan.

Source: Inilah.com

Blog di WordPress.com.